Jakarta, NU Online - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tengah menjajaki kerjasama di berbagai bidang dengan Republik Demokrasi Taiwan. Kerjasama yang diharapkan bisa mempererat hubungan kedua belah pihak tersebut, di antaranya di bidang pendidikan, perekonomian, pertanian dan sosial.
Penjajakan kerjasama ini ditandai dengan kedatangan Kepala Taipei Economic and Trade Office (TETO) of Indonesia Andrew LY Hsia ke gedung PBNU, Rabu (4/1). Andrew datang dengan didampingi 2 orang stafnya, menawarkan sejumlah kerjasama dengan PBNU.
"Investor Taiwan selama ini lebih memilih China untuk menanamkan modalnya. Padahal kami tidak ingin menaruh telur di keranjang yang sama, kami juga ingin membaginya," kata Andrew mengawali pembicaraannya dengan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, yang dalam kesempatan sama didampingi Wakil Ketua Umum As'ad Said Ali, Sekretaris Jendral Marsudi Syuhud, Bendahara Umum Bina Suhendra dan sejumlah ketua, wakil ketua dan wakil sekjend.
Selain di bidang perekonomian yang ditandai dengan keinginan menanamkan investasi di Indonesia, tak terkecuali bekerjasama dengan pelaku usaha Nahdliyin, Andrew juga menyampaikan negaranya ingin menjalin kerjasama pendidikan dan sosial dengan Indonesia. Bidang pertanian juga dibidik untuk dikerjasamakan.
"Kami sudah bekerjasama dengan Kementrian Pendidikan Indonesia, setiap tahun ada dua ratus pelajar kami saling bertukar pendidikan. Di bidang perekonomian kami memiliki teknologi yang baik, tapi lahan kami sempit," ungkap Andrew.
Menyikapi ajakan kerjasama tersebut Kiai Said memberikan sambutan positif. Kerjasama NU dengan Republik Demokrasi Taiwan diharapkan bisa meningkatkan perekonomian umat, yang hingga saat ini diakui masih membutuhkan langkah maksimal untuk memperbaikinya.
"Dengan Pemerintah (Indonesia) silahkan dilanjutkan, dengan NU kami sambut baik dan mari kita kerjakan bersama-sama. Ini akan sangat baik untuk Nahdliyin," papar Kiai Said.
Kiai Said tak lupa juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Republik Demokrasi Taiwan, yang telah memberikan sambutan positif atas keberadaan Pimpinan Cabang Istimewa (PCI) NU di Taiwan. PCI diharapkan bisa melayani Nahdliyin yang secara kebetulan tengah mengais rezeki di Taiwan. "Taiwan mengizinkan NU membangun Islamic Center, kami sangat berterima kasih soal ini. Ini akan membantu Nahdliyin yang sedang bekerja di sana," pungkasnya.
Penulis: Emha Nabil Haroen
Mojokerto, NU Online
Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama dan Kementrian Agama RI bekerja sama dalam meningkatakan sumber daya manusia (SDM) pesantren.
Kerja sama itu telah berlangsung sejak tahun 2005 melalui program PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi). Program ini memberikan beasiswa kepada santri yang berprestasi dalam berbagai bidang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Tiap tahun ada 500 beasiswa untuk santri se-Indonesia. Hingga kini, program tersebut sudah meluluskan 215 orang.
Persoalannya, setelah lulus dari program itu, ada santri tidak kembali ke pesantren. Penyebabnya, pertama, pilihan santri, kedua, pesantren itu sendiri.
“Lulusan dari PBSB ada indikasi yang tak mau kembali ke pesantren,” tutur Agus Zaenal Arifin, Dekan Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Hal itu diungkap Agus yang juga Wakil Ketua RMI pada halaqah “Strategi Membangun SDM Pesantren” di PP Amanatul Ummah, Pacet, Mojokerto. Halaqah tersebut mempertemukan santri program PBSB dan pimpinan pesantren.
Tidak hanya soal santri yang enggan kembali ke pesantren, halaqah juga membahas kesiapan pesantren menerima kembali santri lulusan PBSB.
“Ada problem dari mahasiswa, dan dari pesantrenya sendiri. Saya kemarin ketemu santri di Jakarta. Dia bekerja di perusahaan yang bagus, dia bilang tidak digunakan di pesantren. Ada santri yang benar-benar mau mengabdi, tetapi tidak diperhatikan pesantrennya. Di beberapa pondok memang begitu; ada santri yang sudah lulus memang dibiarkan saja. Ada juga yang sudah lulus, tetapi berbeda paham, sehingga tidak dipakai pesantren pada akhirnya,” kata Imam Syafi’i, Kasubdit PD Pontren Kemenag.
Imam menambahkan, upaya untuk mengatasi persoalan itu bisa bermacam, misalnya memberi ruang santri untuk tetap mengabdi di tempat lain, jika pesantrennya yang dulu belum bisa menerima.
Sementara itu, H Amin Haedari, PAIN Pendis Kemenag RI mengusulkan cara lain. Menurutnya, santri yang menerima beasiswa di fakultas kedokteran atau tehnik informasi misalnya, bisa dirujuk ke perusahaan besar. Sementara bentuk pengabdiannya melalui zakat dari gaji mereka. Uangnya digunakan kembali untuk keberlanjutan PBSB.
“Kami ini sekarang sudah membentuk lembaga alumni. Mereka sudah sepakat, memberikan sebagian zakat profesinya itu antara 100 ribu sampai 200 untuk membiayai adik-adiknya di pesantren. Jangan sampai kita hanya mengandalkan dari Departemen Agama, mungkin saja nanti program ini distop,” terangnya.
Pertemuan yang berlangsung (26-27/12/11) tersebut dihadiri 50 pimpinan pondok pesantren yang sebagian besar mempunyai santri peserta PBSB Kementerian Agama RI, Pengurus Pusat RMI dan unsur Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI.
BEBERAPA bank dan usaha perkreditan menawarkan model pembayaran haji secara kredit. Proses pelunasan umumnya berlangsung sampai jamaah haji tiba dari tanah suci, artinya haji dilangsungkan dengan cara berhutang. Ada semacam semangat untuk berupaya memudahkan umat Islam untuk berhaji: “Haji itu rukun Islam, buat apa dibuat sulit.”
Di Indonesia kelihatannya “haji kredit” ini belum dibincang meski banyak juga yang telah berhaji dengan model hutang ini. Namun, di Malaysia, haji kredit ini hampir menjadi tren. Seorang bahkan bisa saja memanfaatkan pinjaman yang disediakan oleh perbankan atau institusi lainnya untuk berhaji.
Ya, haji memang kewajiban manusia kepada Allah, dan tentu harus dimudahkan. Lalu bagaimana dengan persyaratan bahwa yang wajib menjalankan haji itu harus “istito’ah” atau berkemampuan melakukannya? “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup (istitho’ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali- Imran : 97)
Istitho’ah dalam hal pembiayaan dimaksudkan sebagai kecukupan untuk membayar biaya perjalanan dan biaya untuk dirinya saat pergi ke tanah suci dan balik ke negeri asalnya. Selain itu istito’ah juga dimaksudkan sebagai kecukupan atas keperluan nafkah bagi keluarga atau orang di bawah tanggungan orang yang hendak berhaji.
Pada titik ini para tokoh dan pakar ekonomi Islam yang memperbolehkan haji kredit berpandangan bahwa pola pekerjaan dan pendapatan pada zaman dahulu berbeda dengan pola pekerjaan pada zaman sekarang dimana telah ada kontrak kerja dengan tempo dan penghasilan yang jelas. Sehingga kredit pun bukan sesuatu yang menghawatirkan dan merupakan bagian dari pola pekerjaan atau aktivitas ekonomi zaman ini.
”Tidak ada pula nash Al-Qur’an dan Hadits yang jelas-jelas melarang seseorang yang bakal menunaikan haji dengan uang cara kredit untuk tujuan memudahkannya, dan mungkin memudahkan keluarganya untuk menunaikan haji,” kata Tokoh ekonomi Islam Malaysia, Dr. Mohd. Daud Bakar, Direktur Eksekutif International Institute of Islamic Finance Inc yang berkedudukan di Kuala Lumpur.
Sepertinya, pendapat mengenai kebolehan “haji kredit” dengan berbagai alasannya tidak perlu diterima begitu saja. Kita perlu bimbang apakah keinginan untuk “memudahkan diri untuk menjalankan perintah Allah” bukan sekadar keinginan agar mudah melakukan kunjungan dan rekreasi keluarga ke tanah suci. Dari pihak bank atau instansi kredit, kita pun sulit membedakan antara keinginan untuk “memudahkan umat Islam menjalankan perintah Allah” dan keinginan mencari keuntungan dari usaha kredit.
Para ulama memang memperbolehkan membayar haji secara kredit tapi harus diselesaikan menjelang keberangkatan haji. Hal ini untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat orang melaksanakan haji. Adapun hukum haji yang dilaksanakan tetap syah namun tidak diwajibkan. Artinya yang dilakukan bukanlah haji yang diwajibkan Allah kepada hambanya, namum umrah biasa yang disunnahkan. (A Khoirul Anam)
Keselamatan, kenyamanan dan estetika kiranya menjadi perhatian pemerintah Arab Saudi dalam menyambut dan melayani para jamaah haji sebagai tamu-tamu Allah SWT. Bertolak dari semua itu maka pemerintah setempat mengadakan perombakan beberapa tempat dilaksanakannya ibadah haji antara lain perluasan Masjidil Haram di Makkah, pelebaran jalan raya, pembuatan jalan baru, pembuatan terowongan, pelebaran Jamarat bahkan membuatnya bertingkat-tingkat bersusun ke atas sampai empat atau lima tingkat, perluasan tempat sa’i dan membuatnya bersusun tiga atau empat tingkat, dan lain-lain.
Terakhir diadakan perluasan atau pelebaran tempat sa’i (mas`a) dan pembangunan kemah jemaah haji di luar Mina untuk ibadah mabit (bermalam) di Mina. Apakah perubahan-perubahan itu masih dapat dibenarkan oleh Syara’? Apakah tetap sah haji seseorang yang dilakukan di tempat-tempat perluasan itu?
Perluasan Mas`a
Perluasan mas`a atau tempat pelaksanaan sa`i yang sekarang disebut sebagai mas`a jadid (mas`a baru) sudah dipergunakan pada musim haji 1429 H ini. Berarti jamaah haji melakukan sa’i dari Shofa ke Marwah melalui tempat hasil tausi’ah (perluasan) dan dari Marwah ke Shofa melalui mas`a yang lama. Pemerintah Saudi menambah lebar mas`a dari sekitar 20 meter menjadi 40 meter.
Dengan demikian, perluasan ini menambah luas keseluruhan lokasi sa`i menjadi sekitar 72.000 m2, dari yang sebelumnya hanya 29.400 m2. Proyek perluasan mas`a ini telah dimulai tahun 2007, setelah musim haji usai. Perluasan ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah.
Apakah mas`a setelah mengalami perluasan itu dipandang sebagai mas`a untuk melakukan sa`i antara Shofa dan Marwah? Apakah sah sa`i yang dilakukan di mas`a jadid itu?
Para ulama memberikan ketentuan bahwa panjang mas`a adalah jarak antara bukit Shafa dan Marwa, sedangkan lebarnya berdasarkan fakta dan praktik yang dilakukan dari masa ke masa sejak zaman Rasulullah hingga kini.
Jika perluasan mas`a itu menjadi satu mas`a saja, dalam pengertian mas`a yang lama digunakan satu arah dan perluasan mas`a yang baru digunakan searah juga maka hukumnya sah karena para jamaah haji tetap melakukan sa’i antara Shofa dan Marwah.
Rapat pleno Syuriyah PBNU memilih pendapat bahwa sa’i pada mas`a setelah mengalami perluasan hukumnya sah karena memang tidak adanya nash yang sharih mengenai batas lebar mas`a pada zaman Nabi sehingga dinding mas`a yang ada sebenarnya bukanlah batas mas`a. Tidak ditemukan keterangan yang pasti mengenai batas lebar mas`a, yang jelas ketentuannya hanyalah panjang mas`a antara Shafa dan Marwah. Sementara berdirinya bangunan atau tembok di sekitar mas`a yang berubah-ubah; kadang menyempit dan kadang meluas, membuktikan bahwa agama tidak membatasi lebar mas`a.
Berikut ini adalah penjelasan dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj:
“Kami tidak menemukan perkataan ulama ukuran lebarnya mas`a. Diamnya mereka dalam hal ini karena tidak diperlukan. Karena yang wajib (bagi seorang yang bersa’i) adalah menjelajahi area antara bukit Shafa dan Marwah untuk setiap kali putaran. Jika melenceng sedikit dari jalur sa’inya, tidak mengapa sebagaimana dijelaskan Imam Syafi’i.” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj 10/359).
Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj juga dijelaskan:
"Perkiraan mas`a selebar 35 hasta atau sekitar itu adalah perkiraan saja, karena tidak ada nash dari hadits nabi yang kita ketahui. Oleh karena itu melenceng sedikit (pada waktu sa’i dari mas`a yang ada tidak menjadi masalah, berbeda dengan melenceng yang melebar terlalu banyak, bisa keluar dari hitungan lebar mas`a, walaupun hal itu masih diperkirakan juga.
Perluasan Mina
Mina adalah sebuah lembah di padang pasir yang terletak sekitar 5 kilometer dari kota Mekkah, Arab Saudi, dan masih dalam kawasan tanah haram. Mina digunakan sebagai tempat mabit pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, 13 Dzulhuijjah). Mina mempunyai batas-batas tertentu, sehingga kawasan di luar batas mina tidak dipandang sebagai Mina, sehingga berada di tempat itu bukanlah mabit. Panjangnya Mina sekitar 2 mil atau sekitar 3 km.
وَاعْلَمْ أنَّ مِنَى طُوْلًا مَا بَيْنَ وَادِي مَحْسَرٍ وَ أوَّلُ اْلعَقَبَةِ الَّتِيْ يَلْصِقُهَا الْجُمْرَةَ
Yaitu jarak lembah yang ada di lembah Muhassir sampai Jumrah Aqabah. (I'anatut Thalibin II/304)
Sedangkan lebarnya adalah kawasan di antara dua bukit. Pada saat ini bukit yang mengapit Mina telah diratakan sehingga kawasan yang ada di antara dua bukit menjadi luas. Dengan demikian batasan Mina yang ditetapkan sejak masa Rasulullah telah demikian jelas. Pemerintah Arab Saudi pun membuat papan petunjuk bertuliskan “Nihayat Mina” (batas akhir Mina).
Yang terjadi sekarang sesungguhnya bukanlah perluasan Mina (tawsi’atul mina), sehingga seolah-olah menghasilkan sebutan mina jadid (Mina yang baru), tetapi adalah penempatan perkemahan di luar kawasan Mina yang digunakan sebagai tempat mabit, dalam rangkaian melaksanakan wajib haji, yaitu melempar jumrah di Mina (jumrah ’ula, wustha’ dan aqabah). Perkemahan yang ditempatkan di luar Mina itu, beberapa tahun terakhir ini, digunakan untuk mabit para jamaah haji dari Indonesia dan dari Turki. Dengan kata lain, ratusan tenda tersebut berdiri di kawasan luar Mina dan masuk kawasan Muzdalifah.
Pertanyaan yang muncul adalah sahkah mabit di luar kawasan Mina tersebut?
Persoalan ini dianggap sudah jelas. Bahwa jamaah haji yang tinggal di luar Mina diharuskan beranjak menuju Mina dan mabit di sana selama mu’jam al-lail (separuh malam lebih) dari malam hari tasyrik. Sementara jamaah haji yang tidak bisa mabit di Mina diharuskan membayar dam (denda) karena meninggalkan manasik haji.
Dasar hukum disarikan dari hasil Bahtsul Masail Diniyah Waqiyyah dalam Rapat PlenoSyuriyah PBNU pada 29 Oktober 2008 M / 29 Syawal 1429 H di Jakarta, dan beberapa hal penting terkait dengan persoalan ini masih dalam pembahasan. (A Khoirul Anam)
Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.
Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka
Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,
Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.
Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.
Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.
Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.
Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.
Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ
Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka
Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan.
Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.
Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.
Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.
Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.
KH Arwanie Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU